– Ketidakpastian dalam ekonomi global telah menjadi tantangan besar yang dihadapi banyak negara dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini tidak lepas dari meningkatnya ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menurut Zhang (2020), “Konflik ekonomi antara AS dan Tiongkok telah mendorong ketidakstabilan struktural dalam sistem perdagangan internasional” (hlm. 40). Perseteruan ini tidak hanya berkaitan dengan isu dagang semata, tetapi juga mencerminkan perebutan dominasi teknologi dan geopolitik global.
Salah satu manifestasi utama dari ketegangan tersebut adalah kebijakan proteksionisme dalam bentuk saling menerapkan tarif impor yang tinggi. Seperti dijelaskan oleh The Economist (2019), “Perang tarif antara AS dan Tiongkok telah mengganggu arus perdagangan lintas negara dan memaksa perusahaan multinasional untuk menata ulang rantai pasok mereka”. Kebijakan ini berdampak luas, menciptakan ketidakpastian pasar dan memengaruhi stabilitas ekonomi global secara keseluruhan.
Dampak dari perang dagang ini meluas ke berbagai negara, termasuk Indonesia sebagai salah satu mitra dagang utama kedua negara tersebut. Menurut Sitorus (2021), “Efek limpahan dari perang dagang AS–Tiongkok terhadap Indonesia mencakup penurunan ekspor, gangguan pada rantai pasok, dan ketidakstabilan nilai tukar”. Kondisi ini diperparah oleh ketergantungan Indonesia terhadap aktivitas ekspor-impor dalam struktur ekonominya, khususnya pada sektor manufaktur dan pertanian.
Tidak hanya sektor riil yang terdampak, ketidakpastian global juga memengaruhi sentimen investor asing terhadap pasar domestik Indonesia. Bank Indonesia (2025) mengemukakan bahwa “Fluktuasi arus modal dan pelemahan nilai tukar rupiah merupakan bentuk respons pasar terhadap gejolak eksternal yang ditimbulkan oleh konflik dagang global”. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu merumuskan strategi ekonomi yang lebih adaptif dan resilien dalam menghadapi dinamika global yang terus berubah.
Dampak Terhadap Ekspor Indonesia
Penelitian oleh Purwono et al. (2022) mengungkapkan bahwa tarif yang dikenakan AS terhadap produk Tiongkok memiliki dampak negatif terhadap ekspor Indonesia. Mereka menyatakan, “Kami menemukan bahwa tarif AS pada barang-barang Tiongkok memiliki dampak limpahan negatif pada ekspor Indonesia.” Hal ini disebabkan oleh penurunan permintaan global yang mengakibatkan penurunan ekspor Indonesia. Sebaliknya, tarif balasan dari Tiongkok terhadap produk AS memberikan sedikit peningkatan permintaan terhadap ekspor Indonesia, meskipun dalam skala yang lebih kecil.
Selain itu, studi oleh Maghfiroh (2021) menemukan bahwa dalam jangka panjang, perang dagang antara AS dan Tiongkok berpengaruh positif signifikan terhadap ekspor Indonesia. Namun, dalam jangka pendek, pengaruh tersebut tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dampak perang dagang terhadap ekspor Indonesia lebih terasa dalam jangka panjang.
Pergeseran Rantai Pasok Global dan Relokasi Investasi
Perubahan lanskap perdagangan global akibat ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok telah memicu pergeseran signifikan dalam strategi bisnis perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan global saat ini mempertimbangkan kembali lokasi produksi mereka sebagai upaya untuk menghindari tarif tinggi serta ketidakpastian kebijakan yang berkembang (Wired.com, 2019). Salah satu respons utama terhadap kondisi tersebut adalah relokasi basis produksi ke negara-negara Asia Tenggara.
Dalam konteks ini, Indonesia muncul sebagai kandidat kuat berkat ketersediaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang kompetitif. Kementerian Perindustrian (2021) menyatakan bahwa “Daya saing Indonesia dalam menarik investasi asing sebenarnya sangat potensial, terutama di sektor manufaktur padat karya”. Namun, meskipun potensinya besar, realisasi relokasi ke Indonesia belum optimal.
Tantangan utama yang menghambat daya tarik Indonesia sebagai destinasi relokasi adalah keterbatasan infrastruktur dan regulasi yang rumit. Bambang Brodjonegoro, Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi, menyatakan bahwa hambatan utama investor asing masuk ke Indonesia terletak pada birokrasi perizinan yang belum efisien dan lemahnya konektivitas logistik (Finansialfokus.com, 2024). Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Vietnam dan Thailand telah berhasil mencuri start dengan menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kondusif dan responsif terhadap kebutuhan investor.
Perkembangan Terkini: Upaya Deeskalasi Perang Dagang
Setelah bertahun-tahun memanas, perang dagang AS–Tiongkok akhirnya menunjukkan titik terang. Dalam perundingan dua hari di Jenewa pada 10–11 Mei 2025, kedua negara sepakat menurunkan tarif impor secara signifikan selama 90 hari ke depan. AS memangkas bea masuk produk Tiongkok dari 145% menjadi hanya 30%, sementara Tiongkok membalas dengan menurunkan tarif atas produk AS dari 125% menjadi 10%. Kesepakatan ini mulai berlaku 14 Mei 2025, disertai komitmen membentuk forum lanjutan untuk memperbaiki hubungan dagang dan ekonomi (Kompas.id, 2025).
Peluang dan Tantangan bagi Indonesia
Di balik bayang-bayang konflik dagang dua raksasa dunia, terbentang peluang emas yang siap dipetik oleh Indonesia—jika bangsa ini cukup berani untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan merangkul perubahan. Perang dagang AS–Tiongkok bukan hanya badai, tapi juga jendela—yang mengintipkan kesempatan langka untuk memperkuat posisi dalam rantai pasok global yang tengah direstrukturisasi. Indonesia memiliki momentum untuk tampil sebagai bintang baru, menggoda investor asing yang mulai jenuh dengan dominasi Tiongkok dan haus akan pasar yang lebih stabil, kompetitif, dan strategis.
Dengan menggairahkan kembali industri dalam negeri melalui inovasi dan efisiensi, serta menciptakan iklim investasi yang ramah dan progresif, Indonesia dapat menjelma menjadi magnet investasi regional. Tak kalah penting, diversifikasi pasar ekspor bukan sekadar strategi cadangan, melainkan jalan pembebasan dari ketergantungan historis terhadap pasar tradisional. Di tengah pergeseran peta perdagangan global, terbuka peluang di pasar non-tradisional yang dahulu luput dari radar—dan kini menunggu untuk dijelajahi. Kini saatnya Indonesia berhenti bermain aman, dan mulai menari di tengah badai.
Kesimpulan
Perang dagang antara AS dan Tiongkok bukan sekadar konflik bilateral, melainkan gempa geopolitik yang mengguncang fondasi ekonomi global—dan Indonesia tidak kebal terhadap guncangan itu. Penurunan ekspor dan membanjirnya produk impor hanya sebagian dari dampak nyata yang menggerus daya saing nasional. Di tengah ancaman ini, terselip peluang emas: relokasi investasi dan pembukaan pasar baru. Namun, peluang itu tidak akan berarti apa-apa jika Indonesia tetap lamban, reaktif, dan terjebak dalam birokrasi usang. Sudah saatnya Indonesia bangkit, merumuskan strategi radikal dan menyeluruh—memperkuat industri, merevolusi infrastruktur, dan membongkar regulasi penghambat—agar tidak hanya bertahan, tapi menjadi pemain utama di medan ekonomi global yang semakin brutal.
* Ditulis oleh Wahyu Abadi, Rakyat Pinggiran di Persimpangan Jalan.
Penulis : Wahyu Abadi
Editor : Zaza
Sumber Berita: Linkking.id