SUMENEP, Linkking– Hingga akhir Juni 2025, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, belum mencatat satu pun permintaan distribusi air bersih dari desa-desa yang biasanya langganan kekeringan. Fenomena cuaca tak lazim, yang dikenal sebagai kemarau basah, menjadi faktor utama yang menyelamatkan wilayah ini dari ancaman krisis air tahunan.
“Biasanya permintaan suplai air mulai berdatangan sejak awal Juli. Namun, hingga saat ini belum ada laporan masuk. Hujan masih rutin turun di sejumlah titik,” ujar Kepala Pelaksana BPBD Sumenep, Achmad Laily Maulidi, Selasa (1/7/2025).
Fenomena kemarau basah merujuk pada situasi ketika curah hujan tetap tinggi meski telah memasuki musim kemarau. Di Sumenep, masa kemarau umumnya dimulai sejak akhir Maret. Namun, hingga pertengahan tahun, hujan masih kerap mengguyur, memperlambat datangnya kekeringan.
Data BPBD tahun 2024 mencatat sebanyak 64 desa terdampak kekeringan, delapan di antaranya masuk dalam kategori kering kritis. Kala itu, pemerintah harus menyalurkan air bersih menggunakan truk tangki lantaran sumur-sumur warga mengering.
Namun kini, dua desa yang biasanya menjadi prioritas penanganan—Prancak dan Montorna—belum menunjukkan gejala kekurangan air.
“Ini memberi semacam jeda dari tekanan kekeringan yang saban tahun datang tanpa ampun,” tutur Laily. “Tentu kita belum bisa lengah. Pemantauan tetap berjalan, terutama di wilayah rawan yang telah kami petakan setiap tahunnya.”
BPBD tetap siaga penuh, sembari memanfaatkan momen ini untuk memperkuat strategi mitigasi jangka panjang. Menurut Laily, kemarau basah memberi peluang bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk memperbaiki sistem pengelolaan air, sembari bersiap menghadapi kemungkinan perubahan iklim yang makin sulit diprediksi.
“Ini semacam jeda dari kekeringan yang sudah menjadi siklus tahunan. Tapi tentu saja, kita belum tahu sampai kapan ini bertahan,” pungkasnya.***
Penulis : Amin Bashiri
Editor : Zaza
Sumber Berita: Linkking.id